Btw karena blogku sepi pengunjung dan paling cuma temen-temen deket aja yang buka, jadi aku ijin share prolognya ya Ayuk :p
PROLOG
Joanna
selalu yakin pada adanya keajaiban.
Ketika
anak-anak lain menjadi besar dengan sibuk
bermain di masa kecilnya, Joanna
justru dibesarkan dengan
buku-buku yang membangkitkan imajinasinya.
Kata
Mama, buku pertama yang dibaca Jo sampai tuntas adalah kumpulan dongeng Hans
Andersen. Buku itu tadinya merupakan koleksi
Mama, lalu dihadiahkan pada Jo ketika Jo berumur enam tahun (papa
memberitahu Jo kalau sejak kecil Jo suka membuka-buka buku itu). Lalu,
dilanjutkan dengan buku-buku dongeng yang ditulis mama—Mama
Jo seorang penulis.
Buku-buku
itulah yang membentuk Jo seperti ini. Cerita-cerita tentang bintang yang lelah
dan bosan karena terus-menerus berada di
langit, lantai kamar yang hobi menggerutu karena si pemilik kamar jarang
menyapunya, atau keran air yang jengkel karena sering lupa dimatikan.
Mama
pernah bilang, segala sesuatu yang terjadi di dunia ini sudah ketetapan yang
digariskan Tuhan. Dan kalau ada sesuatu yang luar biasa dan
menyenangkan terjadi tanpa kita duga, itu suatu keajaiban
yang diberikan olehNya. Mama percaya keajaiban.
Begitu
pun Joanna.
Dan
itulah yang membuat Jo melakukan ini—bersepeda
ke taman kota, merencanakan sesuatu. Di keranjang
sepedanya, ada sebungkus plastik.
Jo
mengayuh sepedanya dengan cepat, seakan bersaing dengan waktu. Sesampainya di
taman, dengan cepat ia memarkirkan sepedanya, meraih tas plastiknya, lalu
berlari ke salah satu pohon. Jo
tidak tahu apa nama pohon itu, tetapi saat kemarin ia mencari
pohon yang cocok, pohon itulah yang sesuai.
Joanna
mendongak, tersenyum lebar memandangi pohon di depannya. Ia membuka tas
plastiknya, mengeluarkan banyak burung kertas
berwarna-warni yang telah dikaitkan
dengan benang. Lalu, ia naik ke atas bangku
yang berada tepat di bawah pohon—membiarkan tanah yang menempel di sepatunya
mengotori bangku. Tidak lama kemudian, gadis kecil
itu sudah sibuk menggantungkan burung kertas itu
ke ranting-ranting pohon yang masih dapat diraih Jo.
Semalam,
Jo sudah mempersiapkan semua ini. Ia menuliskan berbagai
macam profesi yang menurutnya bisa cocok untuknya,
lalu membentuknya menjadi burung kertas.
Awalnya,
hanya karena pertanyaan guru Jo di sekolah, “Apa cita-cita kalian?”
Semua
anak menyebutkan cita-cita mereka dengan bangga. Jo satu-satunya murid
yang
terlalu bingung untuk menjawab. Ada banyak yang
dicita-citakan Jo sampai Jo tidak tahu harus memilih mana.
Hari
itu, Bu Prang—guru Jo, hanya tersenyum, lalu berkata, “Tidak
apa-apa. Yang jelas, pilihlah cita-cita sesuai dengan kesukaanmu,
sesuai dengan mimpimu.”
Dan
hari ini, Jo yakin, sesuai harapannya, burung
kertas yang pertama kali berpindah tempat dari
pohon ini bertuliskan cita-cita yang cocok untuknya.
Besoknya,
Jo kembali lagi. Jo menghitung kertas di sana. Masih sama saja. Enam belas
burung kertas menggantung di
sana.
Ketika
hari berikutnya, Jo memekik senang ketika ada satu burung
kertas yang hilang. Tapi burung
kertas itu tidak ada di bawah pohon, tidak juga di
sekitarnya. Joanna berusaha mencarinya.
Ujung-ujungnya
Jo menyerah. Ia duduk di salah bangku
di taman. Kemudian ia
mendongak. Dilihatnya langit
yang ternyata sudah berganti jingga.
Juga
melihat burung kertas merah yang
menggantung-gantung tertiup angin.
Joanna
terpana. Ia bergegas berdiri, naik ke atas bangku, lalu
mengambil kertas itu.
Menjadi seperti Mama.
Joanna
terkikik geli.
Kalau di kertas lain ia menuliskan hal-hal seperti dokter, guru, pramugari,
desainer, dan sebagainya, ada dua kertas di mana ia hanya menulis ‘menjadi
seperti mama’ dan ‘menjadi seperti papa’.
“Bodoh.”
Joanna
berbalik. Seorang laki-laki bertubuh gemuk
berjalan ke arahnya. Joanna
mengenalinya. Jo melompat ke tanah, lalu
berkata, “Oh, Leo. Kamu yang
memindahkan ini?”
Leo
mengangguk. “Aku penasaran pas anak bule kayak kamu ke
sini. Ternyata cuma gitu. Aku ambil satu,
terus aku pindahka.”
Joanna
hanya tertawa. “Aku Cuma ingin tahu apa yang aku
dapat,” ujar Jo. Ketika Leo tidak menampakkan tanda-tanda
akan membalas perkataannya, Joanna bertanya,
“Jadi,
apa mimpimu?”
“Mimpi?”
“Iya,
mimpi. Keinginan. Kamu ingin jadi apa? Yang kamu
suka? Cita-cita?”
“Aku
nggak punya keinginan.”
Joanna
mengerutkan kening. “Kamu
sama-sama kelas lima kayak aku, kan? Guru di kelasmu nggak
tanya soal cita-cita?”
“Nggak.”
“Oh.”
Jo mengangguk-angguk. “Nggak
apa-apa. Aku juga. Kemarin pas ditanyain
Bu Guru aku nggak bisa jawab. Tapi ... bisa
juga nanti aku jadi kayak Mama,”
Joanna menggerak-gerakkan burung kertas
di tangannya. Lalu Joanna terdiam sendiri,
matanya menerawang. “Gimana,
ya, rasanya jadi sesuatu yang kita inginkan?”
Yeay! Jangan lupa di beli novelnya kalo udah terbit yaaaa^^